Ditulis oleh Ronny Junaidy K
A. PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan memang berkembang begitu
cepat. Hal ini dimungkinkan, karena ia mengibaskan cara orang
mengusahakan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang sangat sakral dalam
pandangan teologia, ilmu hukum adalah merupakan salah satu bagian kajian
yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusianya
dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu
hukum itu sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya
lebih bersifat integral dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri.
Hukum dalam lingkup ilmu pengetahuan
telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana hukum, hal tersebut
telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian dari
ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang
apa itu hukum?, Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum.
Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law
dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama
merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan
dalam mencapai keadilan dan yang kedua, merupakan aturan perilaku yang
ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat[1].
Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[2]. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi[3]. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science
akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan
terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.
Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata Latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Dapat dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[4].
Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang
berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain
sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu
yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum
itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang
empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence)
adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan
teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma,
hak-hak dan kewajiban.[5]
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis[6]. Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence
bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu
yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas. Hari Chand
secara tepat membandingkan mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang
mempelajari bidang ilmunya masing-masing[7].
ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi
manusia harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh
dan struktur, hubungan dan fungsinya masing-masing. sama halnya dengan
seorang mahasiswa hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus
belajar konsep hukum, kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari
hukum itu sendiri. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia
mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa
kedokteran juga perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi tubuh, misalnya panas, dingin, air, kuman-kuman, virus,
serangga dan lain-lain. Sama halnya juga dengan mahasiswa hukum, yaitu
mempelajari faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi hukum itu
diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan nilai-nilai
yang terkandung dalam bidang ilmu lain.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua
aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial.
Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum.
Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang
mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum
dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai
gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif
menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya
ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya
sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar
dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek
kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian
hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan pergerakan-pergerakan
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan maka teknologi terus
mengalami perubahan secara cepat, oleh karena itu hukum harus bisa
beradaptasi dengan perkembangan tersebut, maka dengan sendirinya hukum
sebagai suatu bidang ilmu dapat memberikan panduan bagi seorang sarjana
hukum yang kini terbawa dan masuk dalam ranah ilmu hukum yang
terintegral dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini banyak membawa para
sarjana hukum berfikir lebih praksis dan bukan lagi berfikir sebagai
ilmuwan hukum.
Dengan merujuk pernyataan diatas maka
penulis mencoba mengkaji permasalahan ilmu hukum yang menjadi pusat
perdebatan dikalangan para sarjana hukum itu sendiri dengan permasalahan
“Bagaimanakah Perspektif Ilmu Hukum Sebagai Salah Satu Ilmu Pengetahuan Modern”.
C. TEORITIS
Sebelum kita membahas tentang apa dan
bagaimana hukum sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan tentunya kita
harus melihat dulu bagaimana padangan para ahli tentang hukum itu.
Ketika mempertanyakan tentang apa (hakikat) hukum itu, sebenarnya juga
sudah masuk pada ranah filsafat hukum. Pertanyaan tersebut sebenarnya
juga dapat dijawab oleh ilmu hukum, akan tetapi jawaban tersebut
ternyata tidak memuaskan. Hal ini antara lain dapat berpijak dari
pendapat Van Apeldoorn yang antara lain menyatakan bahwa ilmu hukum
hanya memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat
gejala-gejala hukum belaka[8].
Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan
panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang
tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum sebagai
pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu Hukum Norma (kaidah)
hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Menurut Utrecht: “Filsafat Hukum
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hukum itu
sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka
kita mentaati hukum? (persoalan: berlakunya hukum). Apakah keadilan yang
menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan: keadilan
hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh
ilmu hukum. Akan tetapi bagi orang banyak tidak memuaskan. Ilmu hukum
sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala
saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit” belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata “ethisch wardeoordeel”[9].
Ruang lingkup Filsafat Hukum antara lain
dapat ditilik dari perumusan pengertian tentang Filsafat Hukum.
Mencermati adanya berbagai perumusan yang variatif maka tidaklah dapat
dikatakan bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum bersifat baku dan stagnant, namun
sebaliknya luwes dan berkembang. Namun demikian titik pangkalnya tetap
sama yakni tentang hakikat hukum yang paling mendalam atau hakiki.
Perkembangan terletak pada hakikat hukum
yang dapat dilihat dari berbagai perspektif antara lain tentang tujuan
hukum, keadilan, dasar mengikatnya hukum, atau mengapa hukum ditaati dan
sebagainya. Perkembangan ruang lingkup Filsafat Hukum dapatlah
ditengarai dengan pokok pikiran bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum sudah
bergeser pada batasan ruang lingkup yang dibuat atau disepakati sebagai
masalah Filsafat Hukum oleh para filsuf masa lampau. Misalnya masalah
dasar yang menjadi perhatian filsuf masa lampau terhadap Filsafat Hukum
terbatas pada tujuan hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum
alam dan hukum positif, hubungan negara dan hukum, dan sebagainya.
Pada masa kini objek kajian atau ruang
lingkup kajian Filsafat Hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja,
tetapi setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang berkaitan dengan
masalah hukum. Dengan kata lain bahwa Filsafat Hukum sekarang tidak lagi
Filsafat Hukumnya para ahli filsafat seperti di masa-masa lampau,
melainkan merupakan hasil pemikiran pula para ahli hukum (teoritisi
maupun praktisi) yang dalam tugas sehari-harinya banyak menghadapi
permasalahan yang menyangkut keadilan sosial di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut Friedmann menyatakan sebagai berikut.“Before
the nineteenth century, legal theory was essentially a by product of
philosophy, religion, ethics, or politic. The great legal thinkers were
primarily philoshopers, churhmen, politicians. The decisive shift from
the philpshoper’s or politician’s to the lawyer’s legal philosophy is of
fairly recent date. It follows period of great developments in juristic
research, technique and professional training. The new era of legal
philosophy arises mainly from the confrontation of the professional
lawyer, in his legal work, with problems of social justice”[10].
Socrates yang melakukan dialog dengan
Thrasymachus (Sofinsft) berbendapat bahwa ketika mengukur apa yang baik
dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak, jangan
diserahkan semata-mata kepada orang perorangan atau kepada mereka yang
memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim, tetapi hendaknya dicari
ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah
hanya berguna bagi mereka yang kuat, melainkan keadilan itu hendaknya
berlaku bagi seluruh masyarakat[11].
Plato juga sudah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam Filsafat Hukum. Baginya keadilan (justice), adalah
tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasikan dengan hanya
kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu ciri sifat manusia
yang mengkoordinasi dan membatasi pelbagai elemen dari manusia terhadap
lingkungannya agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi
dengan baik. Plato juga berpendapat bahwa hukum adalah pikiran yang
masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam
keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum
semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah (governing power)[12].
Aristoteles tidak pernah mendefinisikan
hukum secara formal. Ia membahas hukum dalam berbagai konteks. Dengan
cara yang lain Aristoteles mengatakan bahwa “Hukum adalah suatu jenis
ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang baik, akal yang
tidak dipengaruhi oleh nafsu, Aristoteles juga menolak pandangan kaum
Sofis bahwa hukum hanyalah konfensi. Namun demikian ia juga mengakui
bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari kemauan sesuatu
kelas khusus dan menekankan peranan kelas menengah sebagai faktor
stabilisasi[13].
Dalam dunia pemikiran terhadap hukum,
pada zaman ini menimbulkan pula adanya pendapat bahwa rasio manusia
tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan dari rasio Tuhan.
Rasio manusia terlepas dari ketertiban Ketuhanan. Dan rasio manusia yang
berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Unsur
logika manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.
Dalam hal ini dibedakan 4 (empat) jenis hukum yaitu, pertama, Lex aeterna (hukum abadi, eternal law), suatu ekspresi peraturan alam semesta secara rasional dari Tuhan; kedua, Lex divina (hukum ilahi, divine law) yang membimbing manusia menuju tujuan supranaturalnya, hukum Tuhan diwahyukan melalui kitab suci; ketiga, Lex naturalis (hukum alam, natural law), membimbing manusia manusia menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam bentuk kosmik; keempat, Lex human (hukum manusia, human law),
mengatur hubungan antara manusia dalam suatu masyarakat tertentu dalam
kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam masyarakat tersebut (sesuai
dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan)[14].
Oleh Thomas Kuhn mendefinisikan :
“…Recognized scientific achievements that for a time provide model
problems and solutions to a community of practitioners”[15].
Sedangkan menurut Liek Wilardjo merumuskan : “Sebagai model yang
dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya unuk menentukan jenis-jenis
persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui
prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan”[16].
Lain lagi menurut Angkasa :“Pandangan Fundamental Dari Suatu Komunitas
Ilmuwan Tentang Model Yang Menunjukkan Pokok Persoalan Yang Mendasar,
Teori Beserta Metode Pemecahannya“.[17]
Sehingga dalam perkembangannya ilmu hukum
sebagai suatu pengetahuan banyak teori-teori yang memacu
pemikiran-pemikiran tentang hukum, Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni[18]
mengatakan bahwa sebuah teori hukum positif yang merupakan sebuah teori
hukum umum, bukan sebuah presentasi atau implementasi dari peraturan
legal khusus. Dengan membandingkan semua fenomena yang mengatasnamakan
hukum, ia mencoba mengungkapkan hakikat hukum itu sendiri, menentukan
strukturnya dan karateristik bentuk-bentuknya, independen dari konten
perubahan yang dialaminya pada waktu yang berbeda dan diantara
orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda pula. Dengan cara ini ia
mendapatkan prinsip-prinsip fundamental yang dengannya tiap peraturan
legal dapat dipahami. Sebagai teori, tujuan satu-satunya adalah untuk
mengetahui subyeknya. Maka untuk menjawab pertanyaan tentang apakah
hukum itu, bukan seperti apa yang seharusnya. Pertanyaan yang disebut
belakangan adalah bagian dari bidang politik, sedangkan teori hukum
murni adalah pengetahuan ilmiah.
Hans Kelsen juga mengatakan “kemurnian”
murni, untuk menghindari rekognisi hukum positif dari semua elemen yang
asing, batasan subyek ini dan rekonigsi harus tetap dengan jelas dalam
dua arah : ilmu hukum yang spesifik, prinsip yang biasanya disebut jurisprudensi, harus dibedakan dari filsafat keadilan, di satu sisi, dan dari sosiologi, atau kognisirealitas sosial, di sisi lain[19].
Ilmu hukum menunjukkan penafsiran
normatif atas obyeknya hanya dengan memahami perilaku manusia yang
tergabung dalam suatu masyarakat yang merupakan isi dari dan ditentukan
oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang
diciptakan oleh tindak perilaku manusia dan harus diterapkan dan
dipatuhi oleh tindakan tersebut, dengan demikian ia menjelaskan hubungan
normatif antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma-norma itu[20].
Menurut Hegel, pemisahan “hukum yang ada”
dan “hukum yang seharusnya ada” sama sekali tidak meremehkan pentingnya
nilai-nilai dalam hukum, sebagaimana dijelaskan pula dalam karya Austin
maupun Kelsen, pemisahan itu menempatkan keduanya pada bidang yang
benar-benar berbeda[21].
Dalam hal ini ilmu hukum dalam mencari
bentuk yang lebih modern maka menggunakan model positivisme, hal in
dapat dilihat ketika Hans Kelsen dalam Reine Rechtslehre mengatakan
Hukum itu adalah susunan logis dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada satu tempat tertentu dan ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan
tentang peraturan-peraturan itu, esensi dari teori Hans Kelsen adalah :
- The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiciplity to unity.
- Legal theory is science, not volition. It is knowladge of what the law is, not what the law. The law is a normative not a natural science.
- Legal thery as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms.
- A theory of law is formal, a theory of the way of ordingring, changing contents in a specific way.[22]
Pada abad ke-duapuluh, studi hukum banyak
mengalami perubahan dari ranah dasarnya sebagai suatu ilmu, hal itu
terjadi dengan kemunculan aliran socilogical jurisprudensi yang dipelopori oleh Roscoe pound ( 1911)[23].Pound
mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan
efek sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa
dibatasi hanya tentang studi logis terhadap peraturan hukum
penerapannya, melainkan juga akibat yang timbul terhadap masyarakat.
Aliran dan gerakan keluar dari ranah
hukum postif selanjutnya mengalami kemajuan yang cukup mencolok.
Perkembangan tersebut oleh Alan Hunt disebut sebagai “socialogical movement in law” buku Hunt dengan judul yang sama diawali dengan kalimat “the
twentieth century has produced a movement towards the sociologically
oriented study of law. The study of law can no longer be regarded as the
exclusive preserve of legal professionals, whether practioners or
academics. There has emerged a sociological movement in law which has
had as its common and explicit goal the assault on legal
exclucivism..... ”[24].
Menurut hemat saya bahwa studi ilmu hukum
harus benar-benar didasarkan pada subyek dan obyek serta tujuan hukum
itu sendiri sebelum keluar dan berintegrasi dengan ilmu-ilmu lain,
sehingga pandangan hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan masih berdiri
sesuai dengan koridor hukum itu sendiri. Karena hukum bukan berarti
bahwa harus menjadi beban dalam masyarakat akan tetapi sebagai suatu
seni (art of law) untuk mengatur masyarakat dan hukum bukan
sekedar suatu sanksi yang harus di taati oleh masyarakat sehingga
menurut penulis hukum pada umumnya dapat dikatakan sebagai “perwujudan dari tingkah laku manusia secara individu dan bukan masyarakat pada umumnya”. Atau lebih khusus hukum dapat dikatakan adalah “pengulangan
dari tingkah laku manusia yang tergabung/terintegral dengan manusia
lain yang membentuk suatu masyarakat dengan norma-norma yang secara
individu telah ada, dan terbentuk dalam satu aturan yang sakral dan
ditaati dengan sanksi berupa hukuman dan moral baik itu secara memaksa
maupun tidak”.[25]
D. PEMBAHASAN
1. Perspektif Ilmu HukumIlmu
hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan
terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu
hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu
dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini
merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak
akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga
hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah
perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam
hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara
sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang
lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum. Dalam setiap
perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa
dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain.
Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang
demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang tujuan hukum. Dalam hal
demikian apa yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang
seharusnya. Pada perbincangan akan dicari jawaban yang nantinya akan
menjembantani antara dua realitas tersebut.
Persoalan berikutnya adalam merupakan suatu conditio sine qua non
dalam hukum adalah masalah keadilan. Mengenai masalah tersebut perlu
diingat pandangan Gustav Radbruch yang secara tepat menyatakan bahwa
cita hukum tidak lain daripada mencapai keadilan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”[26].
Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik,
melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat
dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi
esensial keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup
bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum
tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri.
Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai mengelola
keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum.
Untuk memahami validitas aturan hukum,
banyak masalah yang timbul dalam kehidupan manusia, karena manusia
adalah merupakan anggota masyarakat dan sekaligus mahluk yang memiliki
kepribadian. Sebagai anggota masyarakat perilakunya harus diatur. Dan
apabila masyarakat meletakkan aturan-aturan itu yang ditekankan adalah
ketertiban, maka dengan demikian maka akan menghambat pengembangan
pribadi anggota-anggotanya. Sebaliknya, setiap orang cenderung
meneguhkan kepentingan sambil kalau perlu melanggar hak-hak orang lain.
Untuk mempelajari konsep-konsep hukum
berarti mempelajari hal-hal yang semula ada dalam alam pikiran yang
dihadirkan menjadi sesuatu yang nyata. Konsep hukum, bentukkan hukum
ataupun konstruksi hukum merupakan hal-hal yang sangat dibutuhkan di
dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya konsep hak milik, misalnya
merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Konsep
demikian tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami proses
berpikir yang panjang. Dengan diketemukannya konsep-konsep semacam itu,
mau tidak mau akan diikuti oleh aturan-aturan yang menyertainya.
Mempelajari norma-norma hukum merupakan
esensial di dalam ilmu hukum. Belajar ilmu hukum tanpa mempelajari
norma-norma hukum sama halnya dengan belajar ilmu kedokteran tanpa
mempelajari tubuh manusia. Oleh karena itu ilmu hukum merupakan ilmu
normatif, hal ini tidak dapat disangkal dan memang demikian
kenyataannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi seorang sarjana
hukum akan tetap menganggap ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang
normatif.
Sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan
merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya. Suatu penerapan yang
salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu
tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa
yang hendak dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal
tersebut dalam menetapkan standar prosedur atau cara harus berpengang
kepada sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum akan
menelaah kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar tersebut.
Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum
dapat dibagi menjadi tiga lapisan, dalam bukunya Jan Gijssels dan Mark
van Hoecke membagi ketiga lapisan tersebut adalah rechtsdogmatiek (Dogma Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (Filsafat Hukum)[27].
Dalam hal kemurnian ilmu hukum sebagai suatu ilmu, dari ketiga
pembagian tersebut dapat dilihat bahwa dua diantaranya (dogma hukum dan
teori hukum) adalah merupakan ilmu hukum yang murni dan belum
terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain sedangkan filsafat hukum telah
terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain karena didalamnya akan mempelajari
banyak hal yang bersilangan dengan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu ilmu
hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoritis.
2. Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam hal sekarang untuk menunjukkan
paradigma tertentu yang mendominasi ilmu pada waktu tertentu. Sebelum
adanya paradigma ini didahului dengan aktivitas yang terpisah-pisah dan
tidak terorganisir yang mengawali pembentukan suatu ilmu
(pra-paradigmatik)
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang
paradigma dalam konteks perkembangan ilmu seperti tersebut di atas, maka
berikut ini dipaparkan paradigma (ilmu) hukum, yang tampaknya juga
berperan dalam perkembangan hukum. Bermula dari gagasan tentang hukum
alam yang mendapatkan tantangan dari pandangan hukum yang kemudian
(paradigma hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang
dalam bentuk revolusi sains yang khas.
Namun terdapat perbedaan dengan paradigma
yang terdapat pada ilmu alam (eksak), dimana kehadiran paradigma baru
cenderung akan menumbangkan paradigma lama. Dalam paradigma ilmu sosial
(termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu paradigma baru di hadapan
paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya paradigma lama.
Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi pada saling
menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan dasar moral
terhadap hukum, sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selama
hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan
hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan
hukum membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika.
Implikasinya hukum alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum
negara.
Paradigma Hukum Historis yang berpokok pangkal pada Volksgeist
tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu
menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang
sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang
menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut Savigny tidak terjadi
dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang
di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera.
Oleh Bentham, teori itu secara analogis
diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari
baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu
ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang
dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan
sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk,
jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian
dan hanya memperbesar penderitaan.
Dengan demikian, paradigma utilitarianis
merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran
hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan
evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya
bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi
hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses
penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah
ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
Perbincangan tentang keadilan rasanya
merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum,
mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan
salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang
perjalanan sejarah filsafat hukum.
Memahami pengertian keadilan memang tidak
begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat
menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang
makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang
keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang
makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu
perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam.
Penganut paradigma Hukum Alam meyakini
bahwa alam semesta diciptakan dg prinsip keadilan, sehingga dikenal
antara lain Stoisisme norma hkm alam primer yang bersifat umum
menyatakan: Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan
dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya
tentang relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang
juga penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu
didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux[28]. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
Dalam paradigma hukum Utiliranianisme,
keadilan dilihat secara luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur
sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi
kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi.”.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu
hukum, maka ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu
ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam
ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum
itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya akan mengubah
peta hukum dan pembelajaran hukum yang selama ini memandu kita dalam
setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.
E. PENUTUP
Perkembangan ilmu hukum saat ini
mengalami kemajuan yang sengat cepat seiring dengan perkembagan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga setiap sarjana hukum harus dapat
menyesuaikan ilmunya untuk dapat mengimbangi perkembangan tersebut. Akan
tetapi hal tersebut telah berubah dengan meninggalkan siaft-sifat asli
dari ilmu yang dipelajarinya.
Ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang
mandiri dan seharusnya dapat bekerja sendiri sesuai dengan konsep-konsep
hukum yang murni dan menghasilkan hukum yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat yang lebih modern. Oleh sebab itu ilmu hukum harus kembali
dalam konsep yang utama sebagai ilmu hukum yang murni.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan
dalam memahami ilmu hukum sebagai suatu pengetahuan modern adalah dengan
mengembalikan ilmu hukum kedalam eksistensinya sebagai kesatuan ilmu
pengetahuan yang akan dipelajari dan dikaji sebagaimana mestinya.
Sumber : http://djpp.depkumham.go.id/umum/259-ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar